Oleh: Kevin Philip
Asisten Peneliti Spektrum Politika
RANAHNEWS – Regulasi dana kampanye dalam Pilkada menjadi sorotan, terutama terkait larangan sumbangan terlarang dan sanksi berat berupa pembatalan pasangan calon. Aturan ini bertujuan untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam pendanaan politik, yang merupakan pilar utama demokrasi. Namun, pertanyaan mendasarnya adalah: apakah regulasi ini diterapkan secara adil, atau justru membuka celah untuk eliminasi politik?
Regulasi yang Kaku dan Rentan Disalahgunakan
Dalam sistem demokrasi yang sehat, hukum pemilu seharusnya tidak hanya menjadi instrumen administratif yang kaku, tetapi juga mempertimbangkan niat, skala pelanggaran, dan dampak riil dari suatu kesalahan. Regulasi dana kampanye yang terlalu absolut dan represif justru berisiko menciptakan ketidakpastian hukum dan membuka ruang bagi manipulasi politik.
Pasal 76 UU No. 8 Tahun 2015 dan PKPU No. 14 Tahun 2024 menetapkan bahwa sumbangan terlarang, termasuk dari penyumbang dengan identitas tidak jelas, dapat berujung pada sanksi berat, termasuk pembatalan pencalonan. Namun, aturan ini tidak membedakan antara kesalahan administratif yang dapat diperbaiki dengan pelanggaran serius yang memang disengaja untuk kepentingan politik tertentu.
Sebagai contoh, apakah adil jika seorang pasangan calon didiskualifikasi hanya karena ada sumbangan ilegal yang masuk tanpa sepengetahuan mereka? Dalam beberapa kasus, pasangan calon bisa saja menjadi korban dari sistem yang menerapkan asas “guilt by association”, di mana setiap penerimaan dana ilegal otomatis dianggap sebagai bentuk kesengajaan, tanpa mempertimbangkan konteks atau niatnya.
Kelemahan Logika Pengawasan Dana Kampanye
Salah satu argumen dalam regulasi ini adalah bahwa kesesuaian antara jumlah sumbangan dan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) dapat menjadi indikator kewajaran dana kampanye. Namun, logika ini memiliki kelemahan mendasar.
LHKPN hanya mencerminkan kondisi harta kekayaan pada titik waktu tertentu, bukan laporan real-time yang mencatat setiap transaksi keuangan calon kepala daerah. Banyak kandidat memiliki sumber dana yang sah tetapi tidak tercatat dalam LHKPN, seperti keuntungan bisnis baru, pinjaman dari keluarga, atau hasil penjualan aset. Jika LHKPN digunakan sebagai satu-satunya tolok ukur, maka kandidat yang memiliki aset non-likuid seperti tanah atau properti bisa saja dianggap “tidak mampu” membiayai kampanye, meskipun mereka sebenarnya memiliki akses sah terhadap dana tersebut.
Selain itu, regulasi saat ini juga memperkenalkan konsep penyumbang dengan identitas tidak jelas, yang diatur dalam Pasal 73 PKPU No. 14 Tahun 2024. Namun, aturan ini tidak secara spesifik mendefinisikan bagaimana suatu identitas dianggap “tidak jelas.” Misalnya, jika seseorang menyumbang atas nama pihak lain atau memiliki bisnis yang sah tetapi belum memiliki rekam jejak pajak yang cukup panjang, apakah pasangan calon harus langsung dihukum? Dalam sistem pencatatan data yang masih penuh kekurangan, aturan ini justru dapat menjadi alat bagi lawan politik untuk menjatuhkan pesaingnya melalui celah administratif.
Sanksi yang Tidak Proporsional
Pembatalan pencalonan kepala daerah adalah sanksi paling berat dalam kontestasi elektoral—setara dengan “hukuman mati politik.“ Dalam sistem hukum yang adil, sanksi berat seperti ini hanya dapat dijatuhkan jika ada bukti kuat mengenai niat jahat (mens rea) dan keterlibatan langsung pasangan calon dalam pelanggaran.
Sebagai perbandingan, dalam hukum perpajakan, seseorang yang melakukan kesalahan administratif dalam pembayaran pajak diberikan kesempatan untuk memperbaiki atau membayar denda sebelum dijatuhi hukuman yang lebih berat. Namun, dalam regulasi Pilkada, kesalahan administratif seperti ketidaksesuaian laporan dana kampanye langsung berujung pada pembatalan pencalonan, tanpa ada mekanisme koreksi.
Hal ini menciptakan sistem yang tidak hanya tidak adil, tetapi juga rentan terhadap penyalahgunaan politik. Jika aturan ini diterapkan secara kaku, maka demokrasi justru terancam, karena kemenangan dalam Pilkada tidak lagi ditentukan oleh suara rakyat, melainkan oleh permainan regulasi yang dapat dimanfaatkan untuk menjegal lawan politik.
Solusi: Regulasi yang Lebih Proporsional dan Adil
Menjaga transparansi dan akuntabilitas dalam pendanaan politik adalah prinsip yang tidak bisa ditawar. Namun, regulasi yang ada saat ini perlu dikaji ulang agar lebih adil dan proporsional. Beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk memperbaiki sistem ini antara lain:
- Mekanisme Peringatan dan Koreksi
- Jika ditemukan sumbangan ilegal, pasangan calon diberi kesempatan untuk mengembalikan dana dalam batas waktu tertentu atau membayar denda administratif.
- Pembatalan pencalonan hanya dilakukan jika ada bukti kuat bahwa pelanggaran dilakukan secara sengaja dan dalam skala yang signifikan.
- Penyempurnaan Aturan Identitas Penyumbang
- Definisi “penyumbang tidak jelas” harus diperjelas agar tidak menjadi alat kriminalisasi politik.
- Pemerintah harus memastikan adanya mekanisme verifikasi yang lebih transparan, sehingga tidak ada penyumbang yang dikategorikan ilegal hanya karena masalah teknis dalam pencatatan data.
- Evaluasi Hubungan LHKPN dan Dana Kampanye
- LHKPN tidak boleh menjadi satu-satunya tolok ukur dalam menilai kewajaran dana kampanye.
- Perlu ada mekanisme pelaporan keuangan yang lebih fleksibel dan akurat, agar pasangan calon dapat membuktikan sumber dana mereka tanpa risiko didiskualifikasi akibat sistem pencatatan yang kaku.
Jika regulasi ini tetap diterapkan tanpa perbaikan, maka kita tidak hanya berisiko menciptakan ketidakpastian hukum, tetapi juga membuka ruang bagi aktor-aktor politik untuk menggunakan aturan ini sebagai alat eliminasi lawan secara terselubung.
Pilkada seharusnya menjadi ajang kompetisi yang sehat dan demokratis, bukan sekadar pertarungan administrasi yang bisa dimanipulasi. Jika regulasi dana kampanye ingin benar-benar menjaga integritas pemilu, maka aturan ini harus ditegakkan dengan prinsip keadilan, proporsionalitas, dan transparansi yang sesungguhnya. (***)
Komentar