Indak Lekang Dek Paneh, Indak Lapuak Dek Hujan: Damai Menggema Dari Ranah Minang untuk Nusantara

Opini260 Dilihat

Oleh: Gilang Gardhiolla Gusvero, Wartawan

RANAHNEWS – Gelombang keresahan tengah melanda tanah air. Indonesia seakan berdiri di pusaran kecamuk yang tiada berujung. Keputusan kontroversial menaikkan tunjangan anggota DPR menjadi bara awal, lalu duka semakin dalam ketika Affan Kurniawan, driver ojek online berusia 21 tahun, tewas tertabrak kendaraan taktis polisi saat aksi demonstrasi di Jakarta. Peristiwa itu menjelma simbol perlawanan, mengundang amarah sekaligus air mata.

Benturan massa dengan aparat, korban berjatuhan, hingga pembakaran fasilitas umum di sejumlah daerah. Dalam hitungan hari, negeri ini seolah berada di ambang kegaduhan besar. Namun, dari ranah Minang, duka itu menemukan bentuk lain: panggilan moral untuk menjaga martabat bangsa.

Mahasiswa, pengemudi ojek online, hingga masyarakat umum bersatu, menuntut pengusutan tuntas atas kematian Affan. Pada Jumat sore, 29 Agustus 2025, ribuan orang berorasi di depan Mapolda Sumbar. Malam itu, Kapolda Irjen Pol Gatot Tri Suryanta turun menemui massa, menyampaikan permintaan maaf, dan mengajak seluruh elemen melaksanakan salat gaib bersama di Masjid Raya Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabawi.

Seruan damai meluas melalui grup WhatsApp, mengundang masyarakat dan mahasiswa untuk menyuarakan aspirasi di Gedung DPRD Sumbar pada Senin, 1 September 2025. Suasana kota menegang, sekolah diliburkan, aparat siaga, dan semua mata tertuju ke pusat aksi.

Hari itu tiba. Jalanan lengang, langkah-langkah massa teratur, dan orasi bergema tanpa amarah. Bukan kericuhan yang lahir, melainkan pemandangan menenteramkan: barisan tertib, semangat perubahan, dan wajah-wajah penuh keyakinan.

Inilah wajah Minangkabau: adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah. Nilai luhur yang indak lekang dek paneh, indak lapuak dek hujan. Pepatah ini menegaskan keteguhan dan keabadian nilai hidup, meski dihantam keadaan.

Ketua DPRD Sumbar Muhidi bersama wakilnya Nanda Satria, Evi Yandri, Iqra Chissa, serta anggota lainnya menerima aspirasi mahasiswa dengan tangan terbuka. Dialog menggantikan kecurigaan, kepercayaan menyingkirkan kekhawatiran, dan kebanggaan mengisi ruang yang sebelumnya rawan tegang.

Momen itu menjadi bukti: masyarakat Minang tidak mudah dihasut atau diadu domba. Mereka memilih cerdas, bermoral, dan berbudaya. Aspirasi tersampaikan tanpa anarkis, keutuhan negeri tetap terjaga.

Dari ranah Minang, pesan damai menggema: jayalah negeriku, bangkitlah Indonesia. Sumbar telah menunjukkan, kedamaian adalah kekuatan sejati.

Indonesia Satu, Sumbar Damai. (***)

Komentar