Jakarta, RANAHNEWS — Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat, Akhmad Munir, menegaskan bahwa pers Indonesia harus tetap berpijak pada nilai kemanusiaan dan etika jurnalistik di tengah derasnya disrupsi teknologi, dominasi algoritma, dan perkembangan kecerdasan buatan (AI).
Penegasan itu disampaikan Munir dalam Diskusi Kaleidoskop Media Massa 2025 yang digelar di Hall Dewan Pers, Jakarta, Selasa (23/12). Kegiatan tersebut merupakan rangkaian Pra Hari Pers Nasional (HPN) 2026 dan hasil kolaborasi PWI Pusat, Panitia HPN, serta Akbar Faisal Uncensored, yang juga disiarkan secara langsung melalui kanal YouTube Akbar Faisal Uncensored.
Munir menyebut tahun 2025 sebagai momentum refleksi bagi insan pers untuk kembali mempertanyakan peran media sebagai pilar keempat demokrasi. Menurutnya, pers menghadapi tantangan serius, mulai dari keberlanjutan industri media, integritas profesi, hingga tekanan transformasi digital yang kian cepat.
“Sepanjang 2025, kehidupan pers benar-benar diuji. Kita diuji dalam mengelola perusahaan pers yang sehat, menjaga independensi, menegakkan kredibilitas, sekaligus tetap setia pada kepentingan publik,” kata Munir.
Dalam kesempatan tersebut, Direktur Utama LKBN Antara itu juga menyampaikan duka mendalam atas bencana banjir bandang dan longsor yang melanda sejumlah wilayah di Sumatera. Ia menegaskan, situasi bencana menjadi pengingat pentingnya orientasi kemanusiaan dalam setiap pemberitaan.
“Kehadiran pers di tengah bencana bukan sekadar soal kecepatan. Pers harus membantu masyarakat tetap berpikir jernih di tengah ketidakpastian, kepanikan, dan kecemasan melalui informasi yang akurat, terverifikasi, dan berimbang,” ujarnya.
Munir menekankan bahwa pemberitaan kebencanaan pada hakikatnya adalah pemberitaan tentang manusia. Oleh karena itu, liputan tidak boleh direduksi hanya menjadi deretan angka korban, kerusakan infrastruktur, atau visual dramatis semata.
“Di balik setiap bencana ada manusia yang terluka, kehilangan, dan trauma. Etika jurnalistik harus menjadi fondasi utama dalam setiap peliputan,” tegasnya.
Selain aspek kemanusiaan, Munir juga menyoroti kondisi industri media nasional yang dinilainya berada dalam situasi krusial. Ia menyebut perlunya kehadiran negara untuk menjamin kebebasan pers, menjaga keberlanjutan usaha media, serta memperkuat kemampuan adaptasi terhadap perkembangan teknologi digital.
“Perlu intervensi negara untuk menyelamatkan pers Indonesia,” kata Munir.
Wakil Ketua Dewan Pers, Totok Suryanto, menambahkan bahwa dominasi media sosial dan platform digital menjadi ancaman nyata bagi eksistensi media arus utama. Keterbatasan finansial membuat banyak media tidak lagi mampu menempatkan koresponden di berbagai daerah.
“Jika media sosial dilengkapi verifikasi, konfirmasi, dan kode etik, maka media mainstream akan semakin terdesak,” ujarnya.
Anggota Dewan Pakar PWI Pusat, Wahyu Muryadi, mengungkapkan bahwa sejumlah media telah gulung tikar akibat tekanan platform digital. Meski intervensi negara dapat menjadi solusi, ia mengingatkan adanya potensi risiko terhadap independensi media.
Sementara itu, Ketua Bidang Pendidikan PWI Pusat, Agus Sudibyo, menilai dominasi algoritma platform digital sebagai ancaman serius. Ia menyebut hingga kini upaya penyelesaian regulasi publisher rights masih menemui jalan buntu.
Di sisi lain, Ketua Dewan Pakar PWI Pusat, Dhimam Abror, mengingatkan agar insan pers tidak bersikap terlalu pesimistis. Menurutnya, sejarah menunjukkan bahwa determinisme teknologi tidak selalu terbukti dalam perjalanan media.
Pandangan serupa disampaikan anggota Dewan Pakar PWI, Effendi Gazali, serta budayawan Sujiwo Tejo. Keduanya menilai teknologi, termasuk AI dan algoritma, justru berpotensi melahirkan keseimbangan baru dalam industri media, bukan semata menjadi ancaman.
Menutup diskusi, Akbar Faisal menegaskan bahwa profesi wartawan tengah menghadapi tantangan besar. Karena itu, organisasi profesi seperti PWI diharapkan mampu menjadi fasilitator peningkatan profesionalisme wartawan agar eksistensi pers tetap terjaga.
Munir menegaskan komitmen PWI untuk terus memperkuat kapasitas insan pers, menjaga standar etika, dan mendorong praktik jurnalisme yang bertanggung jawab.
“Pers Indonesia harus menjadi pilar demokrasi sekaligus pilar kemanusiaan. Hadir saat bencana, setia mengawal pemulihan, dan konsisten menyalakan harapan bagi bangsa dan negara,” pungkasnya. (rn/*/pzv)













Komentar