Rahmat Saleh: Media Bentuk Orientasi Politik Generasi Y dan Z

Politik36 Dilihat

Jakarta, RANAHNEWS – Generasi muda kembali ditegaskan sebagai penentu arah demokrasi Indonesia. Anggota Komisi IV DPR RI, Rahmat Saleh, menyebut pemilih dari generasi Y dan Z bukan hanya segmen terbesar, tetapi juga arena utama perebutan narasi politik di era digital.

Pernyataan itu ia sampaikan dalam seminar sekaligus peluncuran buku Prosumenesia: Transformasi Media Digital dalam Politik dan Demokrasi di Ruang GBHN, DPR, Kamis (11/9/2025). Buku tersebut memperkenalkan istilah baru “Prosumenesia” sebagai penanda lahirnya pola komunikasi digital yang partisipatif di Indonesia.

Rahmat menekankan, media memiliki peran besar membentuk orientasi politik generasi muda melalui agenda, framing, efek ikut-ikutan, hingga viralitas isu.

“Tanpa literasi kritis, pemilih muda rentan diarahkan oleh popularitas dan tren, alih-alih menilai substansi kebijakan. Implikasi dari kondisi ini jelas. Generasi Y dan Z merupakan segmen kunci sekaligus arena perebutan narasi utama dalam pemilu,” ujarnya.

Ia menjelaskan, riset dalam buku tersebut menunjukkan sekitar 60 persen pemilih pada Pilpres 2024 berasal dari generasi milenial dan Gen Z. Mereka yang lahir sebagai digital native menjadikan media sosial sebagai ruang utama untuk mencari informasi, berdiskusi, membangun opini, hingga mengekspresikan identitas politik.

Buku itu juga menyingkap fenomena partisipasi politik digital Gen Z yang berlangsung cepat, instan, dan masif melalui kampanye tagar, petisi daring, hingga gerakan viral. Menurut Rahmat, bahasa media yang provokatif dan simbolik kerap membuat isu politik cepat berubah menjadi tren populer.

Rahmat turut menyampaikan rekomendasi kebijakan, antara lain transparansi kepemilikan media, diversifikasi saluran informasi, serta pelibatan generasi muda dalam forum legislasi. Ia juga mengingatkan KPU dan Bawaslu agar memastikan kampanye digital menyertakan substansi program, menyediakan kanal pemeriksaan fakta, dan menghadirkan debat publik digital yang ramah bagi Gen Z.

Untuk komunitas pemuda dan masyarakat sipil, Rahmat menekankan pentingnya memperkuat literasi media, menciptakan ruang deliberasi digital, serta menjadi produsen konten politik alternatif. Baginya, dengan regulasi jelas, media beragam, dan literasi kritis yang kuat, generasi muda mampu menjadikan politik sebagai arena transformasi demokrasi yang sehat, partisipatif, dan substansial.

Peluncuran buku ini dihadiri penulis DIK 33, di antaranya Andre Sainyakit dan Mira Natalia Pelu, serta penelaah independen Prof Johanes Basuki. Hadir pula Kaprodi Ilmu Komunikasi Pascasarjana Usahid, Prasetya Yoga Santoso, editor buku Mirza Ronda, dan Wakil Ketua Komisi I DPR, Sukamta.

Dalam sambutannya, Sukamta menyebut era digital sebagai pisau bermata dua. Menurutnya, di satu sisi memberikan ruang partisipasi luas, namun di sisi lain menghadirkan ancaman misinformasi, disinformasi, filter bubble, echo chamber, hingga polarisasi.

Mira Natalia menambahkan, fenomena fear of missing out (FOMO) di media sosial menjadi contoh nyata budaya prosumen. “Masyarakat rela mengantre membeli cokelat Dubai meski rasanya tidak sebanding dengan harganya. Ini membuktikan terjadinya Prosumen di Indonesia (Prosumenesia),” ucapnya.

Sementara Andre Sainyakit menegaskan perlunya komunikasi politik berbasis perdamaian. “Politik yang damai berarti politik yang membuka ruang dialog, mendengar aspirasi, dan berani berpihak pada keadilan substantif,” katanya.

Seminar yang dihadiri ratusan peserta dari kalangan akademisi, politisi, mahasiswa, hingga tenaga ahli DPR ini berlangsung interaktif dengan diskusi mengenai tren baru komunikasi digital dan dampaknya terhadap demokrasi. (rn/*/pzv)

Komentar