Padang, RANAHNEWS — Di tengah mahalnya pupuk, naiknya biaya produksi, dan ketergantungan petani pada subsidi, seorang tokoh asal Sumatera Barat, Ir. Djoni, menawarkan jalan keluar yang tak biasa. Dengan gagasan bernama Sistem Pertanian Mandiri (SPM), pria yang dijuluki Begawan Petani Sumatera Barat ini mengguncang paradigma lama tentang cara bertani.
Melalui SPM, Ir. Djoni mengajak petani meninggalkan praktik konvensional seperti membajak dan menggenangi sawah. Ia menilai kedua cara itu justru merusak struktur tanah serta memboroskan tenaga dan biaya. “Tanpa bajak, tanpa genangan, hasilnya malah lebih baik,” ujar Djoni saat berbicara dalam program Top 100 Channel, Rabu (28/10/2025).
Sistem Pertanian Mandiri bukan teknologi mahal. Djoni merancangnya dari kebiasaan tradisional petani yang disempurnakan menjadi metode ramah lingkungan dan hemat biaya. Prinsip utamanya sederhana: tanah tidak boleh dibiarkan terbuka. Jerami sisa panen dijadikan penutup alami, menggantikan plastik yang sulit terurai. “Jerami menjaga kelembapan dan kesuburan tanah. Plastik? Tidak bisa diurai,” tegasnya.
Pendekatan ini telah diadopsi ribuan petani gurem di Sumatera Barat, terutama mereka yang memiliki lahan di bawah setengah hektare. Bagi Djoni, SPM merupakan bentuk keberpihakan terhadap rakyat kecil yang selama ini terjerat utang pupuk dan ongkos produksi. “SPM kita persembahkan untuk rakyat kecil. Mereka yang selama ini terjebak utang pupuk dan biaya bertani,” katanya.
Lebih jauh, Djoni memperkenalkan konsep studi petani, yakni riset lapangan yang dilakukan langsung oleh petani di lahan mereka sendiri. Ia menilai pengetahuan sejati lahir dari pengalaman di sawah, bukan dari laboratorium. “Tak banyak yang mau bantu petani. Biarlah mereka riset sendiri. Dari sana lahir pengetahuan yang nyata,” ujarnya.
Empat tahun berjalan, SPM diterima luas oleh masyarakat dan pemerintah daerah. Di Kabupaten Agam, hampir seluruh kecamatan kini memiliki lahan percontohan yang menerapkan sistem ini. Hasilnya nyata: sawah tetap produktif meski tanpa bajak dan genangan. Selain meningkatkan hasil panen, SPM terbukti adaptif terhadap perubahan iklim serta menekan emisi gas metana dari sawah. “SPM adalah pertanian rendah emisi karbon. Murah, tapi bukan murahan,” jelas Djoni.
Secara produksi, sistem ini mampu meningkatkan hasil hingga dua kali lipat dibanding cara konvensional, terutama pada lahan dengan kadar besi tinggi. “Kalau biasanya satu karung, dengan SPM bisa jadi dua,” tuturnya.
Namun bagi Djoni, SPM lebih dari sekadar inovasi pertanian. Ia menyebutnya sebagai gerakan rakyat menuju kemandirian pangan nasional. Menurutnya, subsidi pupuk senilai Rp40 triliun per tahun sebaiknya dialihkan untuk edukasi dan sosialisasi sistem pertanian mandiri. “Satu triliun saja cukup untuk sosialisasi. Petani bisa mandiri, tak perlu subsidi,” ujarnya menegaskan.
Kini, tanpa bantuan pemerintah, Ir. Djoni terus menggerakkan kampanye SPM dengan semangat yang ia sebut 0% dana, 100% tekad. “Kami tak pakai uang, tapi bisa selesai juga. Yang penting, derajat petani harus terangkat,” tutupnya penuh keyakinan. (rn/*/pzv)

 
																				









Komentar