Oleh: Ariza Aprilia Fitri
Mahasiswa Departemen Ilmu Politik FISIP Universitas Andalas, Magang di Komisi Informasi Sumatera Barat
RANAHNEWS, – Komisi Informasi memiliki peran penting dalam menjamin keterbukaan informasi publik di Indonesia. Mengacu pada Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP), lembaga ini berwenang menyelesaikan sengketa informasi antara badan publik dan masyarakat melalui mekanisme mediasi maupun ajudikasi nonlitigasi. Namun, dorongan terhadap transparansi kerap berhadapan dengan tantangan besar, yakni bagaimana membuka informasi tanpa mengabaikan hak privasi individu dan lembaga.
Hak atas informasi adalah bagian dari hak dasar warga negara yang dijamin konstitusi. Namun, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 17 UU KIP, hak tersebut memiliki batas. Beberapa jenis informasi harus dilindungi karena berpotensi membahayakan kepentingan negara, mengganggu penegakan hukum, atau mengancam hak privasi seseorang.
Sengketa informasi sering terjadi ketika badan publik menolak memberikan informasi dengan alasan tertentu, sementara pemohon merasa informasi itu harus terbuka. Di sinilah ketegangan antara transparansi dan privasi sering muncul. Dalam banyak kasus, keterbukaan dibutuhkan untuk kepentingan umum. Namun, ada kalanya informasi harus tetap dirahasiakan demi melindungi individu atau lembaga. Misalnya, data kesehatan seseorang tidak dapat diungkapkan sembarangan, meskipun terdapat kebutuhan publik untuk mengetahui pola penyakit di masyarakat.
Komisi Informasi dihadapkan pada tantangan menyeimbangkan dua kepentingan yang sama penting. Dalam hal informasi harta kekayaan pejabat, misalnya, publik berhak mengetahui sebagai bagian dari upaya pengawasan terhadap korupsi. Tetapi ada batasan, seperti data pribadi pejabat yang bersifat sensitif dan bisa membahayakan keselamatan jika tersebar luas.
Perbedaan persepsi tentang batasan keterbukaan antara badan publik dan masyarakat juga turut memperumit penyelesaian sengketa. Tidak jarang badan publik menafsirkan ketentuan pengecualian informasi secara berlebihan dan tertutup terhadap data yang seharusnya bisa diakses. Sebaliknya, masyarakat terkadang menuntut seluruh informasi dibuka, tanpa memahami adanya informasi yang dilindungi demi kepentingan tertentu.
Dalam praktik birokrasi, penyimpangan juga kerap menjadi hambatan keterbukaan. Banyak instansi pemerintah lambat merespons permintaan informasi, bahkan ada yang mengabaikan kewajibannya sesuai UU KIP. Hal ini menambah jumlah sengketa informasi yang harus ditangani Komisi Informasi. Penyebabnya tidak hanya pada sistem yang belum optimal, tetapi juga pada rendahnya kesadaran mengenai pentingnya transparansi.
Sebagian pejabat publik masih menganggap keterbukaan sebagai ancaman, bukan sebagai alat penguatan demokrasi. Pola pikir ini harus diubah agar tata kelola pemerintahan menjadi lebih akuntabel dan responsif terhadap masyarakat.
Komisi Informasi perlu memperkuat posisinya sebagai mediator yang adil dan independen. Keputusan yang diambil harus mempertimbangkan kepentingan publik, aspek hukum, dan perlindungan hak individu. Sosialisasi terkait keterbukaan informasi dan batasannya juga harus ditingkatkan, baik kepada badan publik maupun masyarakat.
Tidak hanya lembaga publik, masyarakat juga perlu memahami bahwa tidak semua informasi bisa dibuka. Ada informasi yang harus dilindungi. Literasi informasi menjadi penting agar tidak terjadi kesalahpahaman yang memicu sengketa.
Saat ini, revisi UU KIP sedang dibahas untuk mempertegas batasan keterbukaan dan memperkuat peran Komisi Informasi. Pemerintah diharapkan mendukung upaya ini, sehingga keterbukaan berjalan seiring dengan perlindungan hak privasi.
Komisi Informasi juga harus beradaptasi dengan perkembangan teknologi digital. Di era ini, informasi tersebar begitu cepat dan potensi kebocoran data semakin tinggi. Sistem perlindungan data perlu diperkuat agar keterbukaan tidak disalahgunakan untuk merugikan individu atau lembaga.
Peningkatan kapasitas sumber daya manusia di Komisi Informasi juga menjadi hal penting. Komisioner harus memahami aspek hukum, administrasi publik, serta teknologi informasi untuk menangani sengketa secara efektif.
Kolaborasi dengan berbagai pihak—pemerintah, organisasi masyarakat sipil, dan akademisi—juga penting dalam memperkuat pelaksanaan keterbukaan informasi. Tanggung jawab ini bukan hanya milik pemerintah, tetapi juga membutuhkan peran aktif masyarakat.
Masyarakat harus lebih proaktif dalam memanfaatkan hak informasi dan mengawasi implementasi UU KIP. Dengan begitu, keterbukaan informasi bisa menjadi pilar utama dalam membangun pemerintahan yang bersih dan bertanggung jawab.
Namun demikian, keterbukaan tetap harus dibarengi perlindungan terhadap hak individu, termasuk privasi dan keamanan data. Komisi Informasi memiliki peran strategis untuk menjaga keseimbangan antara dua hal tersebut.
Di tengah tantangan era digital yang terus berkembang, keterbukaan informasi harus didukung kebijakan yang tepat dan kesadaran semua pihak. Dengan itu, pemerintahan yang akuntabel dan perlindungan terhadap hak privasi dapat berjalan seiring. (*)
Komentar