Padang, RANAHNEWS — Potensi besar sektor perkebunan di Sumatra Barat (Sumbar) dinilai belum digarap secara optimal. Padahal, jika dikelola dengan tata kelola modern dan diarahkan ke hilirisasi, komoditas seperti gambir dapat menjadi penggerak utama pertumbuhan ekonomi daerah.
Pengusaha nasional berdarah Minang, Jefri Nedi, menilai Sumbar memiliki semua modal untuk melompat lebih tinggi di bidang ekonomi berbasis perkebunan, asalkan pemerintah dan pelaku usaha berani memperkuat pengolahan hasil di dalam daerah.
“Saat Menteri Pertanian Amran datang ke Sumbar, terungkap bahwa gambir harus menjadi komoditas unggulan ekspor. Karena itu, hilirisasi perlu segera dilakukan agar perputaran uang terjadi di Sumbar, bukan di luar daerah,” ujar Jefri Nedi, Rabu (29/10/2025) melalui konferensi daring dengan wartawan di Padang.
Menurut Jefri, data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024 menunjukkan sektor perkebunan menyumbang sekitar 22–25 persen terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Sumbar, khususnya di bidang pertanian, kehutanan, dan perikanan. Angka ini membuktikan betapa strategisnya peran perkebunan bagi ekonomi daerah.
“Komoditas seperti sawit, karet, kakao, tebu, dan terutama gambir menjadi tulang punggung ekspor sekaligus penyedia lapangan kerja bagi masyarakat,” katanya.
Ia menegaskan, pengusaha dan pemerintah daerah harus “gaspol” mempercepat hilirisasi perkebunan, agar keuntungan dan nilai tambahnya tidak terus keluar dari Sumbar.
“Kita punya sumber daya besar, tapi kalau hasilnya kecil, berarti ada yang salah. Tata kelola harus dibenahi supaya pendapatan Sumbar dari perkebunan lebih mantap,” tegasnya.
Dari sisi produksi, kelapa sawit menjadi penyumbang terbesar dengan lahan sekitar 400 ribu hektare di Pasaman Barat, Dharmasraya, dan Solok Selatan, yang menopang ekspor CPO dan produk turunannya. Karet masih menjadi andalan petani di Agam, Pasaman, dan Limapuluh Kota meski harga dunia fluktuatif. Kakao dikembangkan di Padang Pariaman, Pesisir Selatan, dan Solok, sementara gambir tetap menjadi komoditas primadona.
“Gambir Sumbar merupakan produsen terbesar di dunia. Sekitar 80–90 persen ekspor gambir Indonesia berasal dari Sumbar, terutama Limapuluh Kota dan Payakumbuh,” ungkap Jefri, mengutip data BPS.
Selain itu, kopi arabika Gayo dari Solok Selatan dan Agam mulai menunjukkan daya saing di pasar domestik maupun ekspor. Menurut Jefri, sektor ini bukan hanya menguntungkan secara makro, tetapi juga memberi dampak langsung pada ekonomi pedesaan.
“Mayoritas masyarakat desa menggantungkan hidup dari perkebunan, baik sebagai petani kecil maupun buruh. Perputaran hasil panen menjadi sumber penghasilan rutin, uang pun berputar ke pasar desa, koperasi, hingga UMKM lokal,” jelasnya.
Jefri juga menekankan pentingnya dukungan pemerintah dalam meningkatkan konektivitas infrastruktur di daerah perkebunan. Pembangunan jalan, jembatan, listrik, dan pasar, menurutnya, akan mempercepat arus logistik dan memperkuat rantai pasok industri hilir.
Ia menambahkan, ekspor hasil perkebunan seperti gambir, kopi, kakao, dan minyak sawit mentah (CPO) telah menjangkau pasar India, Tiongkok, Pakistan, dan Eropa, berkontribusi signifikan terhadap neraca perdagangan daerah serta pendapatan pajak. Namun, tantangan tetap besar: harga komoditas yang fluktuatif, produktivitas kebun rakyat yang masih rendah, hingga alih fungsi lahan dan isu lingkungan, khususnya di sektor sawit.
“Masalah lainnya, banyak hasil perkebunan masih dijual mentah. Padahal kalau diolah menjadi minyak sawit olahan, cokelat, atau kopi roasted, nilai tambahnya bisa berkali lipat,” ujarnya.
Menurut Jefri, penguatan hilirisasi dan modernisasi pertanian menjadi syarat utama agar dampak ekonomi sektor perkebunan semakin besar dan berkelanjutan.
“Paparan ini bukan kritik, tapi ajakan agar ranah dan rantau bersama-sama memajukan Sumbar. Kita ingin pertumbuhan ekonomi Sumbar kembali melampaui rata-rata nasional,” katanya.
Ia menutup dengan menegaskan sejumlah langkah strategis untuk mempercepat kemajuan ekonomi daerah: hilirisasi perkebunan dan perikanan, pengembangan pariwisata berbasis budaya dan alam, pembangunan infrastruktur konektivitas, investasi energi terbarukan dan industri pengolahan, serta pelibatan diaspora Minang dalam jaringan pasar global.
“Aktifkan diaspora Minang sebagai motor modal dan penetrasi pasar internasional. Itu kunci percepatan ekonomi Sumbar,” pungkas Jefri Nedi. (rn/*/pzv)











Komentar